Kau tahu, hampir semua orang pernah kehilangan sesuatu yang berharga miliknya, amat berharga malah. Ada yang kehilangan sebagian tubuh mereka, cacat, kehilangan pekerjaan, kehilangan anak, orang tua, benda-benda berharga, kekasih, kesempatan, kepercayaan, nama baik, dan sebagainya. Kau kehilangan istri yang amat kau cintai. Dalam ukuran tertentu, kehilangan yang kau alami mungkin jauh lebih menyakitkan. Tetapi kita tidak sedang membicarakan ukuran relatif lebih atau kurang. Semua kehilangan itu menyakitkan”
“Apapun bentuk kehilangan itu, ketahuilah, cara yang terbaik untuk memahaminya adalah selalu dari sisi yang pergi. Bukan dari sisi yang ditinggalkan...Dalam kasusmu, penjelasan ini akan sangat rumit kalau kau memaksakan diri memahaminya dari sisi kau sendiri, yang ditinggalkan. Kau harus memahaminya dari sisi istrimu, yang pergi....”
“Kalau kau memaksakan diri memahaminya dari sisi mu, maka kau akan mengutuk Tuhan, hanya mengembalikan kenangan masa-masa gelap itu. Bertanya apakah belum cukup semua penderitaan yang kau alami. Bertanya mengapa Tuhan tega mengambil orang-orang baik, dan sebaliknya memudahkan jalan bagi orang-orang jahat. Kau tidak akan pernah menemukan jawabannya., karena kau dari sisi yang ditinggalkan. Bukankah itu yang terjadi bertahun-tahun kemudian ?. Kau tidak pernah bisa berdamai dengan kepergian istrimu”.
“Kau tahu, istrimu benar-benar ingin menjadi istri yang baik untukmu, menjadi ibu yang baik untuk anak-anakmu. Ia tidak pandai ilmu agama, ia baru belajar itu semua saat kalian menikah. Tapi dia paham sebuah kalimat yang indah, nasehat pernikahan kalian yang disampaikan penghulu : istri yang ketika meninggal dan suaminya ridha padanya, maka pintu-pintu surga dibukakan lebar-lebar baginya”.
Semua di atas itu adalah penggalan dalam novel Rembulan Tenggelam di Wajahmu karya Tere-Liye yang hari ini selesai saya baca sampai lembar terakhirnya. Kalau tak salah ingat, novel itu adalah buku ketiga yang selesai saya baca dalam sebulan ini. Dua yang lainnya adalah Bidadari-Bidadari Surga (Tere-Liye) dan Di Antara Kebahagiaan, Cinta dan Perselingkuhan (KAHITNA dkk.). Kenapa saya mengutip bagian novel Rembulan Tenggelam di Wajahmu itu, meskipun bagi saya Bidadari-Bidadari Surga jauh lebih bagus dan menyentuh ceritanya, ada dua alasan.
Pertama, saya menyukai tokoh utama dalam novel itu, seorang laki-laki bernama Ray yang sejak kecil gemar melihat rembulan. Hmmm...mirip dengan saya yang gemar menatap bulan dan bintang. Rasanya bulan dan bintang itu adalah pasangan paling serasi juga yang terbaik yang diciptakan Tuhan di semesta ini, mungkin selain Adam dan Hawa. Lihatlah saja, saking indahnya, banyak orang yang mencatut dana bulan dan bintang untuk “menggombali” pasangannya. Tentu saja saya tidak termasuk yang mencatut itu.
Pertama, saya menyukai tokoh utama dalam novel itu, seorang laki-laki bernama Ray yang sejak kecil gemar melihat rembulan. Hmmm...mirip dengan saya yang gemar menatap bulan dan bintang. Rasanya bulan dan bintang itu adalah pasangan paling serasi juga yang terbaik yang diciptakan Tuhan di semesta ini, mungkin selain Adam dan Hawa. Lihatlah saja, saking indahnya, banyak orang yang mencatut dana bulan dan bintang untuk “menggombali” pasangannya. Tentu saja saya tidak termasuk yang mencatut itu.
Tapi apakah benar se-serasi itu bulan dan bintang ?. Bukankah sering kali kita melihat di atas sana hanya ada bulan saja ? atau hanya bintang seorang ?. Lain hari malah keduanya tak muncul, atau muncul tapi saling berjauhan. Seperti tak saling kenal.
Ada yang berkata, tampak seindah apapun mereka berdua. Sedekat apapun bulan dan bintang bersisian, sebenarnya mereka tak seiring sejalan. Tak pernah bersatu. Bulan sering angin-anginan. Bentuknya juga tak tentu. Kadang bulat, separuh bundar, lain waktu menyabit. Kadang terang, kadang remang termaram. Sementara bintang ?. Ada yang berkata bintang itu angkuh. Bersinar hanya di waktu malam. Terang tapi hanya di kejauhan.
Ups, kok malah ngelantur ngomongnya ??. Jadi kembali ke novel Rembulan Tenggelam di Wajahmu, singkat saja, saya suka dengan tokoh utama di sini. Terlepas dari banyak kekurangan dan kesalahan yang dilakukannya, yang semuanya digambarkan dalam cerita novel ini, dia adalah seorang laki-laki yang sangat mencintai istrinya. Cinta yang begitu dalam meski dia tahu latar belakang istrinya, meski saat bertemu dengannya di rumah sakit dulu, dia merasa wanita itu tak menginginkannya. Oh, selebihnya dia sangat mencintai wanita itu. Hingga saat istrinya dua kali keguguran dan yang kedua akhirnya turut merenggut nyawanya, laki-laki itu tetap menempatkan nama istrinya sebagai satu-satunya yang bertahta dalam hatinya. Tak berkurang sedikitpun cintanya walau pada perjalanannya datang seorang wanita lain yang menawarkan cinta baru. Dia bergeming, meski wanita baru itu juga membawa cinta yang tulus. Tapi wanita itu datang di tempat dan waktu yang salah. Datang kepada seorang laki-laki yang sudah teramat mencintai almarhumah istrinya, wanita cinta pertamanya. Datang di saat hati laki-laki itu terlanjur Tak Mampu Mendua.
Suami terbaik, laki-laki yang gemar menatap rembulan itu tertidur dalam ranjang pesakitan. Selang infus dan macam-macam alat medis itu adalah temannya di tahun-tahun belakangan. Dalam tidurnya, dia berharap Tuhan segera menyelesaikan itu semua, agar dia bisa segera bersama dengan istri tercintanya di atas sana. Tak ingin menunggu lebih lama lagi. Atau mungkin Tuhan punya kehendak lain ?. Menyelesaikan perjalanan itu sampai rembulan benar-benar tenggelam di wajahnya.
Kedua, banyak cerita dalam novel ini yang berkisah tentang kehilangan dengan latar kejadian rumah sakit. Itulah dua alasan mengapa saya ingin menuliskan kembali secuil Rembulan Tenggelam di Wajahmu.
(5 Ramadhan 1432 H)
Komentar
Posting Komentar