“Aku tak pernah bisa menjanjikan apapun untukmu. Apalagi harapan, aku tak bisa mengiyakan harapan-harapan indah. Aku tak memiliki itu semua. Aku tahu kau akan membenciku sepenuh hati jika akhirnya kau tahu siapa aku. Hatiku bahkan tegas memerintahkanku untuk melupakanmu. Melupakan janji-janji yang kau berikan. Mengabaikan mimpi-mimpi indah yang selalu hadir setiap kali aku habis melihatmu. Kau tahu aku suka sekali memandangi bintang ?. Sejak umur 10 tahun aku menjadi laki-laki yang gemar melihat bintang. Umurku 11 tahun ketika aku jatuh dari atap teras panti gara-gara malam itu aku nekad ingin melihat bintang. Tapi aku tak jera. Aku pernah sakit gara-gara semalaman menunggui malam. Berfikir saat itu benar-benar akan ada hujan bintang. Ternyata temanku membohongiku. Semalaman aku di luar. Sampai pagi menjelang akhirnya tertidur di luar tenda. Umurku 14 tahun waktu ikut kemah penggalang itu”.
“Aku suka sekali melihat bintang. Tapi setelah bertemu denganmu aku tak perlu lagi selalu menatap langit semalaman untuk sekedar melihat bintang berpijar. Kau tahu kenapa ?. Karena aku selalu melihat bintang indah di wajahmu. Tentu kau tak pernah tahu. Kenapa kita harus bertemu di bukit itu ?. Aku sedang menunggui bintang jatuh. Sementara kau datang bersamanya. Kenapa kita bertemu kembali di rumah sakit itu ?. Aku tak pernah memintanya. Aku tak pernah mengharapkannya. Saat kau menatapku. Tatapan yang tak pernah kudapat dari wanita lain. Tatapan yang mulai merangkaikan harapan”.
“Tetapi aku berusaha untuk selalu menoleh menghindari tatapanmu lebih lama. Aku khawatir tatapan itu mungkin kau beri karena tak tahu siapa aku sebenarnya. Tatapan itu mungkin hanya salah alamat. Dan semua akhirnya benar. Tapi kau tak perlu merasa bersalah. Aku yang salah. Datang di antara kalian. Aku yang tak tahu diri menerima tatapanmu. Sebuah pemberian yang bukan untukku. M-a-a-f. Aku tidak tahu. Dan bukan dirimu yang salah. Memang terlalu banyak beda antara kita. Entahlah, mungkin materi, jati diri atau apapun itu. Kebahagian kalian tak semestinya lenyap karena aku. Kembalilah padanya. Biar aku yang pergi. Dan maafkan aku untuk keadaan ini. Kau sudah tahu siapa aku sebenarnya. Aku tak pernah berharap ada wanita yang datang mencintaiku apa adanya..tak pernah. Makasih untuk malam-malam yang indah itu. Makasih untuk janji-janji dan harapan yang tak pernah kudapat sebelumnya. Itu sudah cukup indah buatku tanpa menginginkan lebih. Tanpa mengharapkan itu jadi kenyataan. Bahagialah dengannya. Jangan lagi duakan dia untuk siapapun, apalagi hanya untuk seorang aku. Kesalahan terbesarmu”.
Laki-laki itu suaranya parau. Kemeja lusuhnya sudah tersamar dengan butiran gerimis yang sudan tiga puluh menit terus menghujaninya. Membuatnya lembab.
“Apa kau benar-benar mencintaiku ?”. Gadis itu bertanya. Mengangkat wajahnya. Suaranya terisak. Tangan kanannya yang memegang payung tampak bergetar. Dia melangkah mendekati tubuh yang basah di depannya. “Tanganmu berdarah..”. Tapi laki-laki itu menghindar. Dimasukkan tangannya ke saku celana. Membuat gadis itu gagal meraihnya.
“Maaf. Maafin aku karena tak pernah bisa menepati janji-janji itu buatmu. Maafin sudah nyakitin kamu. Tapi kamu keliru, aku tak membencimu. Akulah yang tidak pantas mendapatkan cintamu”. Gadis itu makin terisak.
Langit sempurna hitam. Tanpa bintang gemintang bertebaran di sana. Sesakali petir menyambar membuat langit terang benderang dalam beberapa detik. Lima menit setelah laki-laki itu berlalu, gadis itu masih berdiri. Tubuhnya tak basah karena payung itu melindunginya. Di jalan aspal berair sedikit siluwet dirinya terbentuk dari sorot sepasang lampu mobil di belakangnya. Tak pernah dia kira laki-laki itu akan tahu rahasianya secepat ini. Tak pernah dia duga laki-laki itu benar-benar mencintainya. Laki-laki yang selama ini hanya dia jadikan teman singgah di saat merasa sepi. Oh demi menyadari itu semua kini air matanya semakin deras menetes. “Maafin aku...”. Ucapnya lirih. Berbalik dan dalam sekejap mobil itu meluncur membelah malam.
Satu tahun berlalu. Di satu kota, di dua tempat yang berbeda. Sebuah pertunangan megah digelar di ballroom sebuah hotel ternama. Tamu-tamu yang hadir tampak bukan orang sembarangan. Lihat saja deretan mobil merek Eropa dan Jepang yang terparkir di sana. Juga beberapa mobil plat merah yang satu persatu menurunkan penumpangnya di depan lobi itu.
Di tempat lain, di lantai 4 kantor media terbesar di kota itu, seorang laki-laki sedang memimpin rapat. Oh, demi alasan apapun rapat itu terus berjalan meski harus melewatkan makan malam. Tak peduli satu, dua orang yang mendengarkannya bicara mulai menguap, letih.
“Okay, saya rasa rapat ini akan sangat menyiksa jika harus dipaksakan dua jam”. Laki-laki mengakhiri bicaranya. Meletakkan spidol dan dalam sekejap ruangan itu menjadi berisik. Orang-orang itu mengucap Alhamdulillah. Ada juga yang menyeletuk : “akhirrnyyyaaa !”. Ada yang berucap lega : “sudah panas pantat gue !!”. Atau sekedar berkata datar “istriku aku pulaaaang..”. Mereka semua tertawa. Sama sekali tak menyalahkan laki-laki itu. Namun bebas dari penyanderaan satu jam lebih cepat jelas membahagiakan mereka.
Dan laki-laki itu tersenyum. Dia merasa telah menjadi orang yang paling tega hari ini. Menyandera beberapa staffnya hingga pukul delapan malam. Baginya telat pulang sejam atau tengah malam sekalipun memang tak masalah. Tak ada yang akan protes untuknya. Tapi para staffnya ini ?. Demi Allah dia tak bermaksud membuat mereka dimarahi pacar-pacarnya atau istrinya malam ini. Ini malam minggu !!!.
Dia kembali ke kamar kerjanya. Menyingkap tirai dinding kaca itu. Menghela nafas, melepas kaca matanya. Lalu memakainya lagi. Kini dia memandang lepas ke arah langit sana. Tiada bintang. Dia menutup kembali tirai. Keluar. Mengunci pintu.
Mobil berjalan pelan melewati tiga petugas portal di pintu keluar. Berhenti sebentar, menekan klakson. Sebentar menyapa, laki-laki itu mengeluarkan sebungkus kantung plastik berisi sisa makanan kecil rapat tadi. Salah satu petugas menerimanya, menunduk hormat. “Makasih, Pak..!”. Lalu mempersilakan laki-laki itu terus lewat tanpa memeriksanya lebih dulu. Bukan karena sudah disogok dengan bungkusan tadi. Tapi mereka sudah lebih dari hafal kepada laki-laki itu. Salah satu manager yang bukan hanya paling sering pulang malam. Tapi juga paling sering mentraktir mereka makan atau sekedar minum kopi. Sementara dirinya sendiri bukan peminum kopi.
Laki-laki itu memacu mobilnya, membelah malam. Sekali dua kali melanggar lampu merah. Sebenarnya dia pengendara yang taat. Tapi malam ini, dia seperti ingin mencoba melanggar. Sesekali tak apalah. Begitu pikirnya.
Setelah melewati beberapa bunderan, mobil itu meluncur lancar di jalanan yang lurus. Jalan protokol ibu kota. Dan setelah beberapa ratus meter, mobilnya melambat. Perlahan-lahan berhenti di muka sebuah hotel. Satu dari lima hotel terbesar di ibu kota.
Laki-laki itu menurunkan kaca pintu mobilnya. Menatap dari jauh lobi hotel itu. Banyak sekali mobil terparkir di halaman itu. Beberapa orang masih berdatangan. Dari pakaiannya bisa ditebak kalau mereka datang bukan untuk menginap atau sekedar mampir. Mereka menghadiri sebuah pesta.
***
Laki-laki itu menutup sebuah buku. Meneruskan laju mobil, melesat menerobos ramainya ibu kota. Malam ini adalah malam minggu. Malam ketika dia menengok ke atas, ada bulan sabit.
Mobil terus meluncur, pergi menjauh. Sementara di atas langit sana, diam-diam sebuah bintang muncul. Pijarnya yang kecil perlahan semakin besar, benderang. Sempurna menemani rembulan yang sudah menyabit duluan. Andai laki-laki itu melihatnya.
(Kamis, 4 Ramadhan. Saat bulan menyabit langit)
Komentar
Posting Komentar