Mudik, adalah sebuah tradisi yang entah mulai kapan pertama kali muncul di negeri ini. Yang pasti mudik telah bertahun-tahun lamanya menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia dan sebagian penduduk muslim Asia lainnya, yang dilaksanakan setiap menjelang hari raya Idul Fitri. Begitu besar makna mudik lebih dari sekedar silaturahmi biasa, melainkan telah menjadi semacam keharusan meski sebenarnya sama sekali bukan kewajiban. Pada akhirnya mudik seperti rangkaian yang tak terpisahkan dari ibadah puasa atau Idul Fitri itu sendiri. Seolah kalau tidak mudik terasa ada yang kurang.
Dan tradisi mudik selalu melahirkan cerita dan suasana tersendiri. Fenomena-fenomena yang jarang atau tak pernah lahir di hari-hari biasa. Mulai dari hilangnya kemacetan (secara sementara) di kota-kota besar, aliran uang besar-besaran ke daerah pedesaan, hingga bermunculannya para pembantu infal.
Ketika kota-kota besar mendadak sepi, sebagai gantinya daerah pedesaaan mendadak kebanjiran orang. Dari rantau mereka pulang. Dan itu sama artinya saat kemacetan di kota besar mendadak menghilang, giliran jalanan pedesaan atau kota-kota kecil lainnya yang macet setengah mati.
Nah, bagi sebagian orang atau mungkin kebanyakan, macet di kala mudik adalah satu hal yang paling dihindari. Selain memperlama waktu tempuh, juga melelahkan mental dan fisik, apalagi kalau mudik dilaksanakan sebelum lebaran. Bisa-bisa puasa batal di tengah jalan hanya karena tenggelam dalam panasnya jalanan yang macet.
Tapi bagi sebagian yang lain, macet di kala mudik justru menjadi hal yang ditunggu. Termasuk bagi saya. Mudik makin terasa jika jalanan macet. Itu akan menjadi cerita tersendiri yang menarik bagi saya...(gila kali ya ??&%$*^$*().
Begitupun dengan kemarin waktu saya memutuskan mudik pada H-4 menjelang lebaran. Ada harapan saya akan mengalami macet dan untuk itu sejumlah rencana telah saya susun. Rencananya saya akan menghabiskan waktu di dalam bus dengan menulis catatan perjalanan..(sok banget sih ???). Semalam sebelumnya saya juga sudah menyiapkan SLR lengkap dengan setting-an terbaik yang bisa saya lakukan. Semuanya bertujuan demi mendapatkan potret-potret sosialita mudik dan kemacetan.
Saya pun mulai memasuki ruang tunggu terminal. Dan ternyata SEPI. Apa ini ????. Masa sepi begini ????. Sama sekali saya tak melihat antrian penumpang di sini. Saya pun turun ke lantai 1, tempat pemberangkatan bus yang akan saya naiki. Di sini harapan akan kemacetan mulai tumbuh kembali. Saya kehabisan tiket dan harus menunggu pemberangkatan berikutnya. Di sini saya juga tahu kalau jadwal pemberangkatan bus dimajukan samapi 2 jam, bahkan tak lagi mengikuti jadwal karena banyaknya penumpang. Nah, ini yang saya tunggu. Di jalan nanti pasti macet !!!!.
Tapi ekspektasi itu hanya sebatas mimpi. Satu jam pertama kemacetan yang saya nanti-nanti tak kunjung terlihat. Hanya ada beberapa iring-iringan kendaraan dari arah berlawanan yang menyapa. Tapi itu hanya seberapa. Sama sekali tak menyebabkan macet. Alhasil saya pun ngganggur di dalam bis. SLR yang sudah standby juga belum melepaskan shutternya sekalipun.
Dan harapan saya semakin pupus memasuki jam-jam berikutnya. Jangankan macet !!!. Jalanan malah sepi. Bayangkan saja, beberapa ruas, saking sepinya bahkan bisa dipakai buat main futsal tanpa khawatir tiba-tiba ada iringan mobil dan motor datang. Jalanan itu hanya ramai oleh spanduk dan bendera-bendera berbagai produk yang saling melancarkan perang iklan. Sial. Sepertinya saya salah mudik. Salah memilih hari. Atau salah jalan ???? >.<.
Saya kecewa. Mudik kemarin sangat tidak mengesankan. Hampa, tanpa rasa, tiada kesan...(ckckck..bahasanya....&^*(%%%$). Dan kehampaan itu makin menjadi-jadi. Bagaimana bisa saya justru sampai di tujuan satu jam lebih cepat dari biasanya kalau perjalanan dilaksanakan bukan di musim mudik !!!. Apa ini ???. Sama sekali tidak asyik..>.<. Saya merasa tidak mudik.
Komentar
Posting Komentar