Banyak dari kita tentu masih ingat, ketika SD dan SMP dulu ajaran mengenai Pulau Sumatera yang disampaikan oleh bapak dan ibu guru tak jauh beranjak tentang cerita-cerita rakyat serta kerajaan-kerajaan besar yang pernah berdiri di atas tanahnya. Begitu pula kisah yang tertulis di buku-buku pelajaran ketika membahas Sumatera akan menonjolkan belantara hutannya yang kaya tumbuhan dan hewan, sekaligus menjadi paru-paru bumi. Seorang bocah berjalan di atas gelondongan kayu yang terbawa banjir bandang di Aceh pada akhir November 2025 (foto: Antara/Erlangga). Sementara saat ulangan tiba, pertanyaan tentang nama cagar alam dan taman nasional di Sumatera sering menjadi penyumbang nilai karena setiap murid pada umumnya hafal nama-namanya. Walau kebanyakan murid belum pernah ada yang ke Sumatera dan melihat sendiri bagaimana lebatnya hutan di sana. Hilang dan Musnah Seiring waktu melalui koran-koran dan tayangan berita di TV, gambaran lain tentang Sumatera mengemuka. Memang masih serin...
Dari kegelapan kubur, kedalaman sungai, hingga dasar jurang. Mereka yang nyawanya dihilangkan “hidup lagi” untuk menerangi sejarah agar tak dilupakan. "Kebun Jagal" (dok. pribadi). Jurang antara penguasa dan rakyat seringkali mewujud dalam bentuk kekerasan oleh aparat yang terus berulang. Seketika nyawa menjadi barang yang sangat murah harganya. Kemanusiaan membusuk hingga nyaris tak menyisakan jejaknya. “Kebun Jagal” karya Putra Hidayatullah menumpahkan kenyataan murung tersebut. Melalui dua puluh satu cerita tentang kematian, sebagian di antaranya berlatar konflik di Aceh semasa operasi militer, Kebun Jagal menghidupkan lagi suara-suara yang terkubur bersama tubuh yang telah tiada atau hilang entah ke mana. Cerita-cerita pendek ini yang beberapa bahkan sangat pendek, berupaya merentangkan panjangnya rantai kekerasan oleh aparat. Hilangnya nyawa seringkali tak memutus rantai kekerasan tersebut. Bahkan, berlanjut dalam bentuk luka dan trauma bagi mereka yang masih hidup, tap...