Beberapa hari belakangan saya mencoba membaca ulang salah satu karya termasyhur Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia. Sudah lumayan lama sejak pertama kali membacanya beberapa tahun silam saat kuliah. Walau bukan koleksi favorit nomor satu, kisah Minke dan Annelies telah memberikan salah satu pengalaman membaca paling kaya dan mendalam bagi saya. Timnas Indonesia (foto: pssi.org). Sejujurnya saya menyukai Bumi Manusia karena sosok Annelies. Itu sebabnya saya sangat antusias saat membaca sepertiga bagian awal cerita Bumi Manusia. Bukan berarti dua pertiga isi lainnya tidak mengesankan. Namun, pada sepertiga awal itulah sosok Annelies bisa dijumpai dengan penggambaran yang kuat dan hidup. Annelies lahir dari rahim seorang ibu yang pribumi. Berayahkan orang Eropa. Fakta bahwa ibunya, Nyai Ontosoroh, hanya seorang gundik tak membuat Annelies tumbuh sebagai gadis yang rendah diri. Keistimewaan sebagai keturunan Eropa melekat padanya. Didikan yang kuat dari Nyai Ontosoroh menjadikan Ann
Terjadi setiap tahun. Menjelang, saat maupun setelah 30 September tiba. Ramai orang membincangkan film pemberontakan PKI atau G30S-PKI. Masih sering pula film tersebut digunakan sebagai media propaganda untuk mendegradasi sosok tertentu sambil mengagungkan sosok lain. Sastra dan non-sastra seputar sejarah September 1965 (dok.pribadi). Meski setelah orde baru runtuh dan terungkap fakta-fakta yang meluruskan sejarah G30S-PKI, pandangan sebagian masyarakat seolah tak beranjak dari narasi yang disodorkan dalam film itu. Pengetahuan publik tentang peristiwa PKI tahun 1965 terpaku seputar penculikan serta pembunuhan para jenderal, usaha mengganti Pancasila, dan kepahlawanan Soeharto sebagai penumpas PKI. Peristiwa G30S-PKI memang nyata sebagai salah satu tragedi terkelam dalam sejarah Indonesia. Namun, pengetahuan masyarakat seolah berhenti pada jalan cerita filmnya. Terbatasnya wawasan sebagian masyarakat Indonesia mengenai peristiwa 1965 disebabkan karena selama puluhan tahun film G30S